Mengenal 1998 dalam Balutan Novel - Resensi Buku Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori



Aku bukan anak yang dibesarkan untuk bersahabat dengan buku-buku...
Bahkan rasanya sejak kecil tertanam dalam diriku, daripada ku beli buku sepertinya membeli barang yang lain lebih penting...
Beranjak dewasa, aku mulai mengenal diriku "haus" akan bacaan-bacaan.
Sampai aku mulai satu persatu membeli buku, dan meminjam buku-buku di perpustakaan.
Dari mulai genre romance, horor, komedi, sci-fi dan buku-buku yang katanya best seller dan sampai di film kan HAHA rasanya aku belum "menemukan jiwaku" diantara buku-buku itu.
Sampai suatu hari, temanku merekomendasikan aku membaca buku "Laut Bercerita", jodoh memang tidak kemana esok harinya aku ngobrol dengan teman kantorku I need new book but i have no time to go to Gramedia wkwk sok sibuk memangggg
Ditunjukkannyalah kumpulan buku-bukunya dan mataku langsung tertuju pada salah satu buku ...




Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Let me to share a little story on this book...

“Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…”

Bait puisi Sang Penyair yang menjadi hadiah ulang tahun yang ke-25 untuk Biru Laut, menjadi sapaan awal dalam novel ini kepada pembaca. Biru Laut memulai ceritanya saat ia telah tiga bulan disekap dalam sebuah tempat yang gelap, hitam dan kelam.
Buku ini bercerita dengan alur maju-mundur, pada peristiwa masa saat ini (dalam penjara) dan masa lalu (ketika hidup di dalam keluarganya yang hangat, dan perjalanan mereka menjadi aktivis sampai pada akhirnya buron dalam waktu yang cukup lama) secara begantian. Kisah tentang indahnya keluarga dan kisah cinta dengan Anjani menjadi warna dalam cerita Laut.

I.         Biru Laut

“Aku tak tahu apakah saat ini aku sedang mengalami kegelapan. Atau kekelaman.”
Di sebuah tempat, di dalam gelap, 1998.
13 Maret 1998, aku diringkus tepat pada hari ulang tahun Asmara, ingin sekali menelponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan menjanjikan buku apa saja yang disukainya, tapi mustahil. Aku hanya mengucapkan selamat ulang tahun dalam hati belaka.
Hari itu, aku menemukan bahwa kematianku tak lebih seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik, pada akhir kalimat sajaknya. Aku merasakan arus bawah laut itu berputar-putar memelukku. Begitu erat, begitu hangat, seolah aku adalah bagian dari laut ini. Mungkin itu sebabnya Ibu dan Bapak memberiku nama Biru Laut. Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut. Aku menyadari : aku telah mati.

Tahun 1991, di Desa Pete Margodadi Godean, Seyegan, Yogyakarta
Sekumpulan mahasiswa, yaitu Laut, Alex, Naratama,  Sunu, Daniel, Julius, Gusti, Bram dan Kinan menemukan tempat yang cocok mereka jadikan markas Wirasena (nama organisasi mahasiswa yang mereka bangun) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah membahas buku-buku terlarang seperti buku karya Ernesto Laclau atau Ben Anderson bahkan novel Pramoedya Ananta Toer. Mereka memiliki ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Meskipun mereka tahu, penghilangan secara paksa adalah resiko yang mungkin terjadi pada mereka atau selogan “Tembak di tempat” akan menghampiri hidup mereka.

Ciputat, 1991
Aku bisa mencium aroma kuah tengkleng yang mengisi rumah orangtuaku. Sudah pasti di hari minggu sore seperti ini Ibu memasak untukku, karena dia tahu aku akan menjenguk Jakarta setiap bulan pada akhir pekan keempat. Namun, karena kesibukan kuliah dan keterlibatan dengan Winatra, sudah tiga bulan aku tak mengunjungi Ciputat. Hingga Asmara mengirim pager dengan nada mengancam, “Kalau kau tiak datang juga akhir pekan ini, kami akan datang ke Yogya!”
Ancaman Asmara cukup membuatku terbirit-birit mengunjungi Jakarta. Suasana makan malam di rumah yang sangat kurindukan, berbagi cerita satu sama lain. Hingga akhirnya, aku tak bisa menyembunyikan kegiatanku di Yogya bersama teman-teman, namun tak secara gamblang ku ceritakan apa yang kami lakukan. Tampak wajah khawatir dari Ibu, namun aku meyakinkan bahwa kami aman.

Blangguan, 1993
Sajak Seonggok Jagung karya Rendra menjadi penyemangat dalam melaksanakan kegiatan di Blangguan. Kegiatan di Blangguan menjadi salah satu kegiatan mereka untuk membela petani-petani jagung yang lahannya akan dirampas pemerintah, yang akhirnya membawa Laut dan rekan-rekannya untuk pertama kali merasakan  penyiksaan. Ia dipukuli, tabokan penggaris besi, diinjak  sepatu bergrigi, dan disetrum. Cerita ini dituliskan dengan detail, sehingga sebagai pembaca seperti dapat membayangkan secara nyata hal ini terjadi sampai membuat terlupa bahwa ini adalah novel fiksi. Saya sungguh membayangkan interogasi dan penyiksaan macam apa yang dialami aktivis-aktivis pada saat itu. Saat itu, mereka masih beruntung dapat dilepaskan di Bungurasih

Di Sebuah Tempat, Di Dalam Khianat, 1998
“Aku hanya ingin kau paham, orang yang suatu hari berkhianat pada kita biasanya adalah orang yang tak terduga, yang kau kira adalah orang yang mustahil melukai punggungmu,” –Bram

“Halo, Biru Laut…” Aku menoleh. Gusti dengan kamera kesayangannya berdiri disampingku. Tersenyum. Dia mengenakan kemeja batik berlengan pendek, pantalon hitam dan sepatu kets hitam. Sekali lagi dia memotret dengan blitz. Tap!
Kini pipiku basah oleh air mata. Bukan oleh rasa hina karena mereka menelanjangiku dan menendangku agar aku mau mengikuti perintah mereka untuk berjam-jam celentang di atas balok es hingga aku merasa beku dan seluruh tubuh membiru; bukan karena aku khawatir jantungku akan berhenti berdetak. Aku menangis karena ketololanku, kedunguanku, menyangka bahwa semua kawan di Winatra – kecuali Tama – adalah orang-orang yang bercita-cita sama, bertujuan sama. Air mataku mengalir deras dan aku sedikit tersedak, tak bisa lagi bicara. Sekarang barulah aku paham mengapa beberapa aksi kita cepat sekali tercium aparat. Kilat blitz kamera yang terus menyorot, saat Laut mengalami penyiksaan tersebut menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa aktivitas mereka selalu diketahui oleh intel.

“Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.”-Bram

“Pengkhianat ada di mana-mana, bahkan di depan hidung kita, Laut. Kita tak pernah tahu dorongan setiap orang untuk berkhianat: bisa saja duit, kekuasaan, dendam, atau sekedar takut dan tekanan penguasa” kata Bram “Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan”

Tahun 1996
Aku dan rekan-rekan lainnya berpindah tempat di Lampung, Pekanbaru, Padang, Jakarta saat dinyatakan sebagai buronan. Saat buron seperti ini, aku masih menjalankan pekerjaanku sebagai penerjemah buku untuk Mandiri, sebuah penerbit independen di Yogyakarta, komunikasi menjadi hal yang paling sulit yang harus dijaga, apalagi komunikasi dengan Anjani dan keluargaku. Surat-surat yang dialamatkan kepada Anjani menggunakan berbagai nama samaran, aku tak pernah tahu apakah surat-surat itu berhasil diterimanya karena aku selalu berpesan jangan pernah membalas.
Suatu hari, Julius mengabariku dan Alex, “Laut, kau harus ke Yogya… skripsimu dan skripsi Alex sudah dibawa Asmara beberapa bulan lalu, dibaca oleh Pak Gondo. Rupanya beliau menyampaikan pada Pak Dekan dan meminta dispensasi agar Alex dank au menjalani ujian tertutup. Dan… ini…” Julius mengeluarkan tiket “kau harus segera berangkat, karena lusa adalah hari sidangmu.”
Aku mengusap air mata ini sesegera mungkin. Mungkin, masih ada harapan. Mungkin suatu hari aku akan mengalami Indonesia yang berbeda, karena ternyata masih ada orang seperti Pak Gondo dan Pak Dekan di UGM yang percaya bahwa Indonesia di bawah Orde Baru harus segera punah.

Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, Maret, 1998
“Lex… kalau sampai aku diambil dan tak kembali… sampaikan pada Asmara, maafkan aku meninggalkan dia ketika bermain petak umpet dan  pesan untuk Anjani agar dia mencari kata-kata yang tidak terungkap dalam cerita pendekku” – Laut

Kinan, Bram, Sang Penyair dan beberapa kawan yang telah diculik beberapa bulan kemudian hilang tanpa jejak, dan sampai saat ini tidak diketahui rimbanya. Beruntung Alex, Daniel, Naratama, Coki, Hamdan dan lima orang lainnya dikembalikan masih dalam keadaan hidup.

“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apapun yang kamu alami di Balangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dari puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu….”-Kinan

II.      Asmara Jati
Sudut pandang lainnya diceritakan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut dan Kekasih Alex Perazon, yang merupakan rekan seperjuangan Laut yang beruntung dapat bebas dengan selamat. Sebagai keluarga yang ditinggalkan anak, kakak lelaki satu-satunya secara misterius, mereka merasakan kehilangan yang sangat dalam yang berbalut pada penolakan atas kenyataan dan harapan yang masih membelenggu.

Ciputat, Jakarta, 2000
Senja itu, seperti senja sebelumnya dan sebelumnya lagi, setiap menit akan diisi dengan kegiatan yang sama, setelah salat maghrib, Bapak akan menghampiri dapur, tempat kami selalu berkumpul setiap hari minggu. Hari minggu biasanya adalah hari kami memasak dan makan malam sekeluarga bersama. Tradisi ini tidak dihentikan hingga kini. Saat Bapak berjalan menuju lemari piring, pada saat inilah aku ingin menghambat Bapak dari keinginannya yang sia-sia itu. Dia pasti mengambil empat buah piring makan dan meletakkannya satu per satu di atas meja makan. Sembari meletakkan sendok dan garpu di samping piring-piring itu, Bapak mencari vinyl tua yang selalu mengingatkan kami pada Mas Laut. Dia mengambil jarum dan tepat meletakkannya pada garis lagu kedua “Blackbird”
Blackbird singing in the dead of night
Take these broken wings and learn to fly…
Kami duduk di hadapan piring masing-masing. Menanti. Ibu. Bapak. Aku. Dan satu kursi serta satu piring yang kosong. Satu piring yang juga menanti pemiliknya. Ini sudah tahun kedua sejak kakak sulungku menghilang. Dan Biru Laut tak kunjung muncul di muka pintu.
Asmara bergabung dengan Aswin Pradana dalam Komisi Orang Hilang, bersama keluarga aktivis lainnya mencoba mencari keadilan untuk mereka yang mengalami desapasidos (penghilangan orang secara paksa); Biru Laut, Gala Pranaya, Kasih Kinanti, Sunu Dyantoro, Julius Sasongko, Narendra Jaya, Dana Suwarsa, Widi Yulianto dan lima orang lain lain. Duka kehilangan membuat banyak keluarga hidup dalam penyangkalan. Mereka hidup dalam imajinasi dimana keluarga mereka yang hilang masih tetap ada dalam keseharian seperti Ayah dan Ibu Laut. Anjani  yang tampak tipis dan ringkih termakan kesedihan sudah tidak merawat dirinya, mengatakan bahwa Ibu Arum – Ibunda Sunu, merasakan kehadiran kembali anaknya saat kain mori terlukis kupu-kupu berwarna kuning biru, yang artinya Sunu mampir ke rumah, karena hanya Sunu yang bisa membatik seperti ini. Semua keluarga yang ditinggalkan mencoba untuk menghibur satu sama lain meskipun belum bisa menerima kemungkinan jika anak, kekasih, suami mereka telah tiada.
 “Sudah lama aku hidup bersama suara, napas dan air mata ini : penyangkalan. Penyangkalan adalah satu cara untuk bertahan hidup.”

23 April 1998, Alex selamat
Dia sudah pulang ke Pamakayo. Tak jelas mengapa Alex dilepas oleh para penculiknya ke kampung halamannya. Hanya beberapa hari sesudah kembalinya Alex, Tante Martha, ibunda Daniel mengabarkan kami bahwa Daniel juga sudah pulang ke rumah orang tuanya di Bogor. Komisi Orang Hilang membantu memastikan sebuah safehouse , karena kawan-kawan lain yang hilang mulai berdatangan seperti Naratama, Coki, Hamdan, Arga Masagi, Hakim Subali, Harun, dan Widi Yulianto. Aswin tak ingin memaksa, tetapi jika sudah ada yang siap mental “Komisi Orang Hilang sudah siap mendengarkan dan mencatat apa yang terjadi pada setiap korban.”

“Aku akan bicara, Asmara. Tapi sebelum aku berbicara resmi dengan Komisi, aku merasa berutang untuk bercerita padamu dan pada orang tuamu tentang Laut.” Pada akhir bulan april, Alex menemui Asmara. Alex bercerita kejadian yang dialami bersama Laut, siksaan yang mereka alami sampai pada terpisahnya Alex dengan yang lainnya termasuk Laut saat di ruang bawah tanah, kepada Asmara, Bapak dan Ibu. Sampai pada cerita, Alex diberitahu bahwa akan dilepaskan dan diberi ancaman jika dirinya berani mengadu kepada pihak luar negeri, atau wartawan, mereka tidak akan ragu untuk membunuhnya. Bapak tak hentinya menangis mendengarkan cerita Alex, pasti ia membayangkan ke mana anak lelaki dan kawan-kawannya dibawa setelah diambil dari tahanan bawah tanah itu.

“Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan”

Sampai pada akhirnya, keputusan besar dipilih Alex untuk berbicara dengan semua kawan dari Komisi Orang Hilang, serta LSM Hak Asasi Manusia lainnya, segala rencana dibentangkan : sejauh apa bahayanya jika mereka berbicara di depan wartawan, yang artinya di hadapan public; apa yang dilakukan intel dan aparat; seberapa banyak wartawan yang akan diundang; apakah kita berani mengundang wartawan asing. Alex telah memutuskan siap dengan segala risiko, maka semua LSM memutuskan bantingan membeli tiket untuk Alex agar ia langsung ke bandara dan terbang ke Belanda setelah mengadakan konferensi pers.

“Yang paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; kami tak merasa pasti apakah kami akan bisa bertemu dengan orangtua, kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti akan dilepas atau dibunuh; dan kami tak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain meneror dan membuat jiwa kami hancur…”-Alex
Ini semua terjadi kurang dari sebulan sebelum Soeharto secara dramatis mengundurkan diri sebagai presiden disaksikan ratusan juta mata melalui siaran televisi. Daniel dan Naratama kemudian memberikan testimoni seminggu setelah keberangkatan Alex; sedangkan Dana, Arga, Hakim dan Widi masing-masing memberi kesaksiannya setelah pasukan khusus Elang, yang jelas adalah penculik para aktivis ini, diadili oleh Mahkamah Militer. Pada saat itu , kami masih berharap kawan yang lain akan muncul. Tetapi, hingga Presiden Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, tak ada tanda apa-apa dari mereka yang hilang. Sementara public terlanjur terpana oleh peristiwa mundurnya orang terkuat di negeri ini, maka kasus hilangnya 13 aktivis mulai tersingkir dari perhatian.

Setiap hari, setiap pekan, setiap bulan, para orang tua bertemu, mencoba saling membandingkan informasi terbaru; hingga bulan September setelah Komisi Orang Hilang menyelenggarakan Tenda Keprihatinan dimana Gus Dur hadir, akhirnya Aswin dan kawan-kawan dari LSM memutuskan untuk mengukuhkan seluruh keluarga menjadi bagian dari organisasi Komisi Orang Hilang agar pencarian para aktivis tak dilupakan pemerintah.

Pada tahun kedua hilangnya Mas Laut dan kawan-kawannya, tingkat pemahaman para orang tua dari bulan ke bulan semakin beragam, ada yang yakin anaknya masih hidup dan ada yang sudah sampai tahap realistis bahwa kalaupun mereka tewas, mereka ingin tahu dimanakah jenazahnya karena “kami ingin menguburkan anak kami…”

Di Depan Istana Negara, 2007
Dalam mimpi Ibu “Bu, Ibu jangan melupakan anak ibu satu lagi. Dia butuh Ibu. Bukan hanya Ibu yang butuh dia. Janji ya Bu, itu anak Ibu satu-satunya sekarang…” entah dari mana datangnya Mas Laut sampai tahu perasaan hatiku, aku sungguh kagum dalam ‘kematiannya’ dia tetap hidup terus menerus.
Pada kamis keempat, di awal tahun 2007, di hadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan payung hitam debgab 13 foto mereka yang belum kembali, Kamisan. Tiba-tiba bahuku disentuh seseorang, Ibu dan Anjani. Mereka mengenakan blus hitam, rok hitam, dan membawa foto mas Laut. Ini sebuah langkah baru untuk Ibu dam Anjani. Aku merasa dari tempatnya yang dia sebut “aman dan tentram” Mas Laut dan mungkin juga Bapak, sedang tersenyum memperhatikan kami semua.

Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari. Kami juga percaya Mas Laut, Mas Gala, Sunu, Kinan dan kawan-kawan yang lain akan lahir berkali-kali.

“Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, sebuah titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.” Kata Sang Penyair


Benar-benar buku yang mengesankan buatku HAHA terkesan lebay ya
Pernah ga sih merasa akhirnya menemukan click pada suatu buku. wah ini aku rasain banget, seolah-olah merasakan sendiri apa yang ditulis, rasa takut, sedih, bahagia...

Thank you Mbak Unul yang sudah merekomendasikan dan Rahma yang sudah memfasilitasi bukunya wkwkwkw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengangkatan Anak / Adopsi (Intercountry Adoption) di Indonesia

Masa Pengangguran (1) PQEC